Dari nama belakangnya, orang mahfum akan bakat musiknya yang besar. Meski sempat terbebani nama besar sang ayah, putra Benny Likumahuwa ini akhirnya bisa membuktikan diri dan mengukir jejak sendiri. Di tangannya, instrumen bass dan musik jazz jadi terdengar asyik dan bisa dinikmati semua kalangan.
Lahir dan besar di lingkungan pemusik, mau tak mau menyeret Elseos Jeberani Emanuel Likumahuwa (26) jatuh cinta pada musik. Bagaimana tidak, sejak masih di dalam kandungan sang bunda, Ribkah Ariadini, Barry, demikian ia biasa disapa, setiap hari dicekoki dengan musik, terutama musik jazz kreasi sang ayah, Benny Likumahuwa.Tapi, kecintaan Barry yang sesungguhnya pada jazz baru benar-benar tumbuh saat usia 11 tahun. “Waktu itu Papa dan Mama ngajakin aku ke festival jazz. Di situ aku nonton penampilan grupChick Korea , dan langsung jatuh cinta. Terutama sama permainan bass John Pattituci, bassis Chick Korea ,” kisah pria kelahiran 14 Juni 1983 ini.
Masuk bangku SMA, Barry membentuk band bersama teman sekolahnya. Menjajal berbagai panggung sekolah, Barry seolah tak terpisahkan dengan bass-nya. “Aku pilih bass karena aku tertarik mengeksplornya. Orang kan, tahunya bass cenderung sebagai instrumen belakang, hanya untuk rhtym dan menjaga beat . Padahal, enggak juga. Bass itu bisa dimainkan dengan banyak cara, bisa tiba-tiba di depan, sebagai lead , atau solo juga.”
Saking cintanya pada bass dan musik jazz, Barry remaja bahkan sempat bertekad tak mau menginjakkan kaki di bangku kuliah. Barry bertekad hidup sepenuhnya dari musik.Tentu saja tekad bungsu dari 3 bersaudara ini membuat pusing kedua orangtuanya. “Akhirnya Papa-Mama mengultimatum. Kalau memang bisa hidup dari musik, enggak kuliah pun, enggak apa-apa.”
Sayang, tekad bulat saja tak cukup.Setelah menunggu sekian waktu, tak ada job yang menghampiri Barry. “Ya, udah. Mau enggak mau harus kuliah. Itu pun, nyari yang murah dan cepat, karena sebenarnya emangenggak pengen kuliah,” kisah Barry yang akhirnya menyelesaikan D-1 jurusan desain grafis.
Usai kuliah, Barry kembali menggantungkan hidup dari musik. Meski rajin menggelar pertunjukan, tak banyak rupiah yang bisa diraup Barry kala itu. “Udah pada tahulah kalau jazz itu kan, bayarannya paling kecil,” seloroh Barry. Tapi, dewi fortuna akhirnya memihak pada Barry. Pada satu pertunjukan di tahun 2003, ia dipertemukan dengan Glenn Fredly.
Glenn yang jatuh cinta dengan betotan bass Barry yang apik, langsung menggandengnya menjadi personil tetap di band pengiring. Dari sinilah perjalanan profesional Barry dimulai. Perlahan namun pasti, nama Barry pun mulai dikenal, tak hanya di kancah musik jazz, tapi juga pop.
“Pop itu untuk penyokong dan nambah tabungan. Dari jazz kan, enggak bisa hidup. Kalau mau hidup dari musik, harus bisa lihat realitas,” ujar Barry yang bersama Glenn, banyak menangani proyek musik. “Enggak cuma main bass, tapi juga jadi arranger dan music director .”
Namun, masa-masa ‘bulan madu’ Barry-Glenn hanya bertahan 4 tahun. Merasa tak lagi sejalan dalam visi dan idealisme, Barry pun melepas posisinya sebagai bassis di band pengiring Glenn. Tak lama, Barry menerima tawaran bermain bersama Dewi Sandra dan Agnes Monica